Wednesday, May 23, 2012

Kimia Oseanografi


BAB I
PENDAHULUAN

            Wilayah pesisir Sulawesi Selatan memiliki potensi lahan budi daya laut sebesar 600.500 Ha dan potensi lahan tambak seluas 150.000 Ha (Dahuri 2004). Potensi perikanan tangkap Sulawesi Selatan sebesar 620.480 ton/tahun, dengan rincian ; Selat Makassar dengan potensi 307.380 ton/tahun, Laut Flores dengan potensi 168.780 ton/tahun, dan Teluk Bone dengan potensi sebesar 144.320 ton/tahun.
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki areal hutan mangrove seluas 22.353 Ha yang terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 Ha dan hutan mangrove sekunder 20.943 Ha, dengan 19 spesies mangrove. Pada wilayah yang berbatasan dengan laut,hutan mangrove didominasi oleh Avicennia dan Sonneratia. Dibelakang zona tersebut ditemui Bruguiera dan Rhizophora, sedang pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daratan ditemukan pandan, ficus, nypa dan biota lain yang menjadi ciri peralihan antara wilayah laut dan daratan.
Tingkat pencemaran di lingkungan laut Indonesia masih tinggi, ditandai antar lain dengan terjadinya
eutrofikasi atau meningkatnya jumlah nutrisi disebabkan oleh polutan. "Nutrisi yang berlebihan tersebut, umumnya berasal dari limbah industri, limbah domestik seperti deterjen, maupun aktivitas budidaya pertanian di daerah aliran sungai yang masuk ke laut," kata Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (Pusdatin KKP), Soen`an H. Poernomo, dalam siaran persnya, dikutip di Padang, Minggu. Pencemaran di laut bisa pula ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan fitoplankton/algae yang berlebihan dan cenderung cepat membusuk. Kasus-kasus pencemaran di lingkungan laut, disebut red tide, antara lain terjadi di muara-muara sungai, seperti di Teluk Jakarta tahun 1992, 1994, 1997, 2004, 2005, 2006.


BAB II
ISI

            Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.
Wilayah  pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang  mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove juga  mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan.
            Air adalah bagian dari kehidupan di permukaan bumi, baik itu air tanah maupun air permukaan. Sungai merupakan sumber daya alam yang sungguh banyak serta memiliki banyak fungsi untuk berbagai keperluan seperti keperluan domestic, pertanian, industry, perikanan, transportasi, olahraga dan sebagainya.
           
            Aktivitas manusia dalam menunjang kehidupannya tidak dapat terpisahkan dengan air. Oleh karena itu, air merupakan unsure utama dalam system lingkungan hidup. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan kualitas air juga bertambah kerena sejumlah air yang digunakan manusia untuk aktivitas manusia untuk aktivitas sehari-hari, kurang lebih 80% akan di buang dalam bentul yang sudah kotor dan tercemar yang dikenal dengan nama limbah air.

            Air limbah sebagai hasil samping aktivitas tersebut secara alamiah atau sengaja terbuang ke lingkungan, terutama pada badan-badan air, baik yang ada dalam tanah maupun pada permukaan, misalnya sungai, danau, rawa, laut/pantai. Pada pembahasan kali ini akan lebih spesifik di danau tempe yang ada salah satu di kabupaten di Sulawesi selatan.

            Ekosistem Danau Tempe terletak di bagian tengah Provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi 5 (lima) wilayah adminstrasi kabupaten yaitu Kab. Bone, Kab.Soppeng, Kab. Wajo, Kab.Maros, Kab. Sidrap dan Kab. Enrekang. Jumlah penduduk yang ada di dalam Ekosistem Danau Tempe adalah 1.224.043 jiwa dengan jumlah keluarga (household) 288.991 keluarga. Danau Tempe pernah menjadi sentra terpenting bagi produksi perikanan air tawar di Indonesia pada tahun 1948-1969 di mana produksi ikan mencapai 55.000 ton  pertahun. Pada saat itu  Danau Tempe dijuluki sebagai “mangkuk ikannya”  Indonesia. Akan tetapi, produksi ikan air tawar dari Danau Tempe mengalami  penurunan sampai  400 % ( Bupati Wajo  dalam Tempo Interaktif 18 September  2007, on line) dan bahkan dalam 15 tahun terakhir produksi ikan air tawar dari Danau Tempe hanya mencapai kurang lebih 11.000 ton.
Selain Danau Tempe, Sungai Walanae dan Sungai Cenranae juga memegang peranan yang penting bagi masyarakat dalam ekosistem Danau Tempe antara lain  sebagai sumber air baku untuk air minum, pertanian dan industri serta  jalur  transportasi air di daerah pedalaman. Sementara Sungai Bila yang menjadi inlet Danau Tempe sangat penting dalam menyangga sentra produsen padi nasional.

Ekosistem Danau Tempe dipengaruhi dan mempengaruhi 3 (tiga)  Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yaitu  DAS Walanae – Cenranae di bagian selatan, DAS Bila di bagian utara, dan Tempe Depression/Batu-Batu di bagian Barat. Ekosistem Danau Tempe terdiri dari tiga danau, yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng, dan Danau Lapompakka  pada musim kering tetapi pada musim hujan ketiga danau ini bergabung membentuk satu danau besar. Dari ketiga danau tersebut, Danau Tempe yang terluas yang termasuk danau tipe Danau Paparan Banjir (Flood Plain)  berdasarkan genesa danau (KLH- 2008).

Sungai Cenranae merupakan satu-satunya outlet yang bermuara di Teluk Bone yang panjangnya 69 km ke arah Tenggara dari Kota Sengkang menuju Teluk Bone. Lebar sungai ini kurang lebih 100-150 meter dengan kedalaman rata-rata 5-8 meter dan debit air sungai mencapai 250-650 m3/detik.Sungai Walanae berasal dari kawasan pegunungan di bagian selatan (Kabupaten Maros) mengalir sejauh  kurang lebih 100 km ke arah selatan bertemu dengan Sungai Cenranae. Rata-rata lebar sungai ini mencapai 100 meter dengan debit aliran air sungai mencapai 400-2300 m3/detik. Sungai Bila yang memiliki hulu di Kabupaten Enrekang  bermeander sejauh 100 km ke arah selatan menuju Danau Tempe. Lebar sungai ini mencapai 70-200 meter dengan kapasitas mencapai 340-1130 m3/detik.  Produksi air dalam setahun dari Sungai Bila yang dihasilkan sebanyak 1.357.444.134 m3  (Balai Penelitian Agroklimat on line, 2008). Ekosistem Danau
Tempe dikelilingi oleh deretan pegunungan dengan elevasi dari 1500-3000 meter. Kurang lebih 37% lahan di ekosistem Danau Tempe memiliki kelerengan lebih dari 45%. Sebagian besar area lahan (70%) peka terhadap erosi tanah.

A. Kualitas Air
Air Danau Tempe dan sungai–sungai yang masuk dalam Ekosistem Danau Tempe telah mengalami penurunan kualitas atau dengan kata lain telah tercemar. Bahan-bahan pencemar yang kandungannya tinggi di badan air adalah suspended solids, nitrogen dan bahan-bahan organik, yang diakibatkan oleh aktivitas masyarakat bantaran sungai yang sistem sanitasi lingkungannya rendah. Mereka membuang sampah dan limbah cair domestik ke perairan.  Pada bulan November 2002 BOD pada badan air danau 12 kali lebih tinggi dari baku mutu dan DO nya mencapai tingkat yang berbahaya yaitu 0,3 ppm  disamping kadar besi, seng, mangan dan coliforms yang juga tinggi (Nippon Koi, 2003). Adapun zat-zat yang telah melewati ambang batas untuk penggunaan perikanan adalah logam berat Pb (lead), Zinc (Zn), Mg, dan zat besi. Akibat banyaknya nutrient yang masuk ke dalam Danau Tempe, menyebabkan terjadinya eutrofikasi.  Eutrofikasi ditandai oleh banyaknya eceng gondok yang tumbuh di perairan danau. Tanaman ini sebelum tahun 1950 tidak pernah dijumpai di perairan danau.

Salah satu indikasi tejadinya pencemaran pada Ekosistem Danau Tempe adalah tercemarnya Sungai Cenranae oleh limbah rumah tangga. Kadar DO (Dissolved Oxygen) telah melewati BM yang ditetapkan oleh PP 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Hal ini
didasarkan pada hasil uji sampel air Sungai Cenranae yang dilakukan oleh Bapedalda Kabupaten Wajo  pada lokasi Jembatan 45 Salo Menraleng menunjukkan angka 24,7 mg/ltr dibandingkan dengan BM sebesar 20 mg/liter (Harian Fajar, Jumat 30 Januari 2009)
Selain itu, data dari Laporan Kajian Status Mutu Air menunjukkan status mutu air pada sungai Walanae Cenranae pada umumnya telah tercemar mulai dari cemar ringan sampai cemar sedang untuk semua kelas air. Namun demikian,
ada beberapa segmen yang memenuhi BM untuk kelas tertentu seperti pada segmen D dan E seperti yang ditampilkan dalam table 1.
Sementara itu, parameter BOD5, DO, Cd, Fe terlarut dan total Fosfat sebagai  P serta TSS tidak memenuhi baku mutu air untuk segmen yang ditetapkan  sebagai kelas I, sedangkan pada segmen sungai yang masuk kategori kelas II  parameter yang telah melewati baku mutu adalah TSS, BOD5, COD, DO, Cd, Fe terlarut, zn, dan total fosfat sebagai P. Untuk segmen yang masuk kelas III, parameter yang melebihi baku mutu adalah BOD5, Do, Cd, dan H2S. Terdapat 10 parameter yang melampaui baku mutu yang dipersyaratkan, yakni TSS, BOD5, COD, DO, PO4, NO2, H2S, Cd, Cu dan Mn. Tiga parameter organik terpenting, yakni BOD5, COD dan DO pada seluruh titik pantau tidak  memenuhi baku mutu, tingginya nilai BOD5 dan COD menandakan bahwa bahan-bahan organik yang terkandung di dalam sungai, titik pantau khususnya relatif tinggi, dalam artian pencemaran yang bersumber dari bahan-bahan organik cukup tinggi. Hal ini dibuktikan pula dengan kelarutan oksigen yang  rendah dalam air tersebut. Hal ini juga mengindikasikan bahwa pemanfaatan lahan yang dominan dalam ekosistem Danau Tempe dalam hal ini Sungai Walcen adalah sektor pertanian, perkebunan  dan perikanan.

Selain masalah pencemaran air akibat dari aktivitas masyarakat sekitar sungai  dan danau, masalah lingkungan lain yang cukup serius di Ekosistem Danau Tempe terutama pada sungai yang menjadi outlet (S. Cenranae) adalah
masalah intrusi air laut. Survey intrusi air laut dilakukan pada tanggal 10 Maret 1997 pada ruas di bagian tengah dan ruas dibawahnya seperti Uloe, Palima, Solo dan Cenrana. Hasil konduktivitas elektrik menunjukan nil. Survey interview dilakukan pada tanggal 21 November 1997 (aliran air sangat rendah) dan ditemukan bahwa intrusi air laut mencapai hingga ke Desa Tolowe lebih kurang 25 km ke arah darat dari Teluk Bone. Arus balik yang dipengaruhi oleh pasang adalah hingga ke desa Pompanua (Nippon Koei 1997). Berdasarkan hasil FGD disebutkan bahwa pada saat musim kemarau, intrusi air laut mencapai 15 km kearah darat Sungai Cenrana. Pada saat ini sungai pada ruas yang terpengaruh intrusi air laut tidak dapat digunakan sebagai sumber air tawar bagi penduduk di sekitarnya. Kondisi ini terjadi di Sungai Cenranae yang terletak di Kabupaten Bone, khususnya di Kecamatan Cenrana (Nippon Koei 2003).

B. Hidrologi
Selain masalah kualitas air, masalah lingkungan lain yang dihadapi ekosistem  Danau Tempe adalah adalah masalah kuantitas air. Salah satu indikator adanya masalah pada sistem hidrologi di ekosistem Danau Tempe adalah terjadinya banjir dan kekeringan. Banjir dan kekeringan merupakan “saudara kembar” yang pemunculannya saling susul menyusul. Faktor penyebab banjir sama  persis dengan faktor penyebab kekeringan. Kawasan eksositem Danau Tempe hampir setiap musim hujan mengalami banjir.  Area yang selalu tergenang pada saat musim hujan adalah di sekitar Danau Tempe, daerah hilir Sungai Bila dan Sungai Walanae, serta area di  sepanjang Sungai Cenranae. Banjir telah banyak menimbulkan kerugian bagi masyarakat banyak. Lahan-lahan pertanian, perumahan penduduk dan infrastruktur sering mengalami kerusakan akibat banjir.
            Pada musim hujan tinggi muka air Danau Tempe dapat mencapai elevasi 7.0- 9.0 meter dan luas permukaan air mencapai 28.000-43.000 Ha. Sementara pada musim kemarau luas permukaan air hanya mencapai 10.000 Ha dengan kedalaman mencapai 1.5 meter. Elevasi dasar danau adalah 3.00 meter pada titik terendah.  Pada tahun yang sangat kering, luas permukaan Danau Tempe bahkan hanya mencapai dibawah 1.000 Ha dengan kedalaman 0.5 meter. Pada tahun 1993, 1994 dan 1997 pada saat musim kering yang sangat ekstrim berlangsung, luas minimal permukaan danau hanya mencapai 200 Ha. Banjir terakhir terjadi di Sengkang pada awal tahun 2007 dengan kerugian material diperkirakan 2,7 Milliar Rupiah.

Upaya yang telah dilakukan untuk menangani permasalahan lingkungan hidup di Ekosistem Danau Tempe sudah cukup banyak tetapi tampaknya belum memberikan dampak yang signifikan. Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain:
1.      Studi-studi, baik yang didanai dari luar (JICA) maupun pendanaannya dari dalam negeri baik APBN maupun APBD.
Beberapa studi yang selama ini sudah dilakukan adalah:
          Prelimanary Study on the Water Resources Development in the Central South Sulawesi, JICA Juni 1974;
         Topographic Mapping on Scale of 1:25.000, JICA September 1978;
         Master Plan on the Central South Sulawesi Water Resources Development, JICA Maret 1980;
         Feasibility Study of the Bila Irrigation Project, JICA 1989;
         Integrating Conservation With Land-use Development in Wetlands in South Sulawesi Giesen, untuk pupuk organik W.M., M. Baltzer and R. Baruadi, 1991,Indonesia PHPA/AWB, Bogor, Indonesia
         Detail Design of the Bila Irrigation Project, OECF, 1992
         Integrated Study on Tempe Lake Water Resources Management, Nippon Koei, Desember 1997;
         Pengelolaan Kawasan Sekitar Danau Tempe dalam Rangka Menunjang Pengembangan Kapet Pare-Pare;
         Penyusunan Rencana Tata Ruang Danau Tempe oleh Tiga Kabupaten (Wajo, Soppeng, Sidrap).
•     Master Plan Study on Integrated Development and Management of The Walanae-Cenrane River Basin, Nippon Koei, Desember 2003.
2.   MOU 5 Bupati yang ada dalam Ekosistem Danau Tempe dan Guberrnur Sulsel. Namun demikian sepertinya ini belum berhasil di lapangan.
3.   Untuk mengatasi lahan kritis yang ada, berbagai pihak juga sudah berupaya untuk menghijaukan lahan-lahan kritis yang ada di dalam Ekosistem Danau Tempe melalui program GERHAN. Bahkan pada tahun 2005 ada usulan untuk mengembangkan tanaman jarak di kawasan Eksosistem Danau Tempe. Penanaman jarak diharapkan bisa mengatasi masalah erosi dan dapat memulihkan lahan kritis, dan di lain pihak bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi terbaharukan (biodisel).
4.   Program pemberdayaan ekonomi rakyat melalui pemanfaatan eceng gondok untuk pupuk organik untuk pemulihan kualitas Danau Tempe Kabupaten Wajo, Provinsi Sulsel  (2007).
5.   Kegiatan Kajian Mutu Air Sungai Cenranae dan Walannae dalam rangka penetapan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan tentang Kelas Air Sungai.
6.   Kegiatan pemanfaatan sedimen dari Danau Tempe sebagai bahan dasar pembuatan batu-bata di Kabupaten Soppeng.
7.   Pada tahun 2007 Kementerian Negara LH bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Wajo telah melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan membentuk kader LH masyarakat pedesaan (tradisional dan adat) Hulu Danau Tempe. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup khususnya daerah hulu danau. Selain itu, dibentuk juga Forum Komunikasi Kader Pedesaan (tradisional dan adat) Peduli Hulu Danau  Tempe. Forum ini diharapkan dapat menjadi sarana komunikasi dan konsultasi kader LH dalam mengatasi masalah LH di sekitarnya.
8.   Pada tahun 2008, Kementerian LH bekerjasama dengan Bapedalda Kabupaten Wajo dan LSM Pemuda Nusantara Kabupaten Wajo melakukan beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat di Danau Tempe. Kegiatan tersebut adalah aksi penanaman pohon pada lahan kritis oleh masyarakat di Maniangpajo sebanyak 2000 pohon, pembuatan kebun bibit berbasis swadaya masyarakat di Desa Anabanua Kecamatan Maniangpajo dan pelatihan kader lingkungan hidup tentang pertanian ramah  lingkungan. Pada kesempatan ini juga, para kader LH masyarakat  tradisional dan adat di beri pengetahuan dan pelatihan tentang teknik  pemanfaatan buah jarak pagar secara sederhana untuk energi alternatif  rumah tangga, sumur resapan air secara sederhana, pengolahan sampah  secara komunal guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan pupuk organik/kompos, serta budidaya padi organik dalam pot.
9.   Kegiatan perbaikan fisik sungai pada beberapa ruas Sungai Walanae dan Cenranae, telah dilakukan beberapa kegiatan fisik berupa perbaikan pinggir sungai. Akan tetapi yang ada hanya pada tebing sungai yang telah mengalami longsor dan hanya pada ruas jalan yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat sekitar.

Demikian pula metode penanggulangan longsor tebing sungai lebih banyak  dilakukan dengan pembangunan tanggul dan bronjong. Agus Maryono (2005)  menyatakan bahwa pembangunan bangunan sipil pada sungai baik berupa sudetan, pelurusan dan pembuatan tanggul akan menghilangkan komponen retensi baik biotik maupun abiotik sehingga menghilangkan retensi sungai. Hilangnya retensi sungai akan meningkatkan debit aliran sungai, meningkatnya debit puncak sungai dan menurunnya waktu mencapai debit puncak. Akibat selanjutnya adalah meningkatnya tendensi banjir di daerah hilir sungai.

Metode vegetatif belum disentuh sama sekali padahal dalam hal pelestarian  fungsi ekologis sungai pembetonan atau bangunan fisik lainnya tidak pro lingkungan dan membutuhkan biaya pembangunan dan pemeliharaan yang
sangat besar.


BAB III
PENUTUP

Pencemaran ekosistem didaerah sekitar danau tempe tergolong rendah, namun jika tidak di tanggulagi dari sekarang maka akan menimbulkan dampak yang begitu berbahaya bagi ekosistem yang ada di sekitar danau tempe.





Artikel Terkait:

0 comments:

Post a Comment