BAB
I
PENDAHULUAN
Wilayah pesisir Sulawesi Selatan
memiliki potensi lahan budi daya laut sebesar 600.500 Ha dan potensi lahan
tambak seluas 150.000 Ha (Dahuri 2004). Potensi perikanan tangkap Sulawesi
Selatan sebesar 620.480 ton/tahun, dengan rincian ; Selat Makassar dengan
potensi 307.380 ton/tahun, Laut Flores dengan potensi 168.780 ton/tahun, dan
Teluk Bone dengan potensi sebesar 144.320 ton/tahun.
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki areal hutan mangrove seluas
22.353 Ha yang terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 Ha dan hutan
mangrove sekunder 20.943 Ha, dengan 19 spesies mangrove. Pada wilayah yang
berbatasan dengan laut,hutan mangrove didominasi oleh Avicennia dan Sonneratia.
Dibelakang zona tersebut ditemui Bruguiera dan Rhizophora, sedang pada
wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daratan ditemukan pandan, ficus, nypa
dan biota lain yang menjadi ciri peralihan antara wilayah laut dan daratan.
Tingkat pencemaran
di lingkungan laut Indonesia masih tinggi, ditandai antar lain dengan
terjadinya
eutrofikasi atau meningkatnya jumlah nutrisi disebabkan oleh
polutan. "Nutrisi yang berlebihan tersebut, umumnya berasal dari limbah
industri, limbah domestik seperti deterjen, maupun aktivitas budidaya pertanian
di daerah aliran sungai yang masuk ke laut," kata Kepala Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (Pusdatin KKP), Soen`an H.
Poernomo, dalam siaran persnya, dikutip di Padang, Minggu. Pencemaran di laut
bisa pula ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan fitoplankton/algae yang
berlebihan dan cenderung cepat membusuk. Kasus-kasus pencemaran di lingkungan
laut, disebut red tide, antara lain terjadi di muara-muara sungai, seperti di
Teluk Jakarta tahun 1992, 1994, 1997, 2004, 2005, 2006.
BAB
II
ISI
Salah satu bagian terpenting dari
kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan
pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir
memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface)
antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan
mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan
sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai
pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya
karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi
misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan
lain-lain.
Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi
daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya
adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama
pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai
fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan
dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan
abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah
interusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang
tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan
ikan.
Air
adalah bagian dari kehidupan di permukaan bumi, baik itu air tanah maupun air
permukaan. Sungai merupakan sumber daya alam yang sungguh banyak serta memiliki
banyak fungsi untuk berbagai keperluan seperti keperluan domestic, pertanian,
industry, perikanan, transportasi, olahraga dan sebagainya.
Aktivitas
manusia dalam menunjang kehidupannya tidak dapat terpisahkan dengan air. Oleh
karena itu, air merupakan unsure utama dalam system lingkungan hidup. Seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan kualitas air juga bertambah
kerena sejumlah air yang digunakan manusia untuk aktivitas manusia untuk
aktivitas sehari-hari, kurang lebih 80% akan di buang dalam bentul yang sudah
kotor dan tercemar yang dikenal dengan nama limbah air.
Air
limbah sebagai hasil samping aktivitas tersebut secara alamiah atau sengaja
terbuang ke lingkungan, terutama pada badan-badan air, baik yang ada dalam
tanah maupun pada permukaan, misalnya sungai, danau, rawa, laut/pantai. Pada
pembahasan kali ini akan lebih spesifik di danau tempe yang ada salah satu di
kabupaten di Sulawesi selatan.
Ekosistem
Danau Tempe terletak di bagian tengah Provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi 5
(lima) wilayah adminstrasi kabupaten yaitu Kab. Bone, Kab.Soppeng, Kab. Wajo,
Kab.Maros, Kab. Sidrap dan Kab. Enrekang. Jumlah penduduk yang ada di dalam
Ekosistem Danau Tempe adalah 1.224.043 jiwa dengan jumlah keluarga (household)
288.991 keluarga. Danau Tempe pernah menjadi sentra terpenting bagi produksi
perikanan air tawar di Indonesia pada tahun 1948-1969 di mana produksi ikan
mencapai 55.000 ton pertahun. Pada saat
itu Danau Tempe dijuluki sebagai
“mangkuk ikannya” Indonesia. Akan
tetapi, produksi ikan air tawar dari Danau Tempe mengalami penurunan sampai 400 % ( Bupati Wajo dalam Tempo Interaktif 18 September 2007, on line) dan bahkan dalam 15 tahun terakhir
produksi ikan air tawar dari Danau Tempe hanya mencapai kurang lebih 11.000
ton.
Selain Danau
Tempe, Sungai Walanae dan Sungai Cenranae juga memegang peranan yang penting
bagi masyarakat dalam ekosistem Danau Tempe antara lain sebagai sumber air baku untuk air minum,
pertanian dan industri serta jalur transportasi air di daerah pedalaman.
Sementara Sungai Bila yang menjadi inlet Danau Tempe sangat penting dalam
menyangga sentra produsen padi nasional.
Ekosistem Danau
Tempe dipengaruhi dan mempengaruhi 3 (tiga)
Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yaitu
DAS Walanae – Cenranae di bagian selatan, DAS Bila di bagian utara, dan
Tempe Depression/Batu-Batu di bagian Barat. Ekosistem Danau Tempe terdiri dari
tiga danau, yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng, dan Danau Lapompakka pada musim kering tetapi pada musim hujan
ketiga danau ini bergabung membentuk satu danau besar. Dari ketiga danau
tersebut, Danau Tempe yang terluas yang termasuk danau tipe Danau Paparan
Banjir (Flood Plain) berdasarkan genesa
danau (KLH- 2008).
Sungai Cenranae
merupakan satu-satunya outlet yang bermuara di Teluk Bone yang panjangnya 69 km
ke arah Tenggara dari Kota Sengkang menuju Teluk Bone. Lebar sungai ini kurang
lebih 100-150 meter dengan kedalaman rata-rata 5-8 meter dan debit air sungai
mencapai 250-650 m3/detik.Sungai Walanae berasal dari kawasan pegunungan di
bagian selatan (Kabupaten Maros) mengalir sejauh kurang lebih 100 km ke arah selatan bertemu
dengan Sungai Cenranae. Rata-rata lebar sungai ini mencapai 100 meter dengan
debit aliran air sungai mencapai 400-2300 m3/detik. Sungai Bila yang memiliki
hulu di Kabupaten Enrekang bermeander
sejauh 100 km ke arah selatan menuju Danau Tempe. Lebar sungai ini mencapai
70-200 meter dengan kapasitas mencapai 340-1130 m3/detik. Produksi air dalam setahun dari Sungai Bila
yang dihasilkan sebanyak 1.357.444.134 m3 (Balai Penelitian Agroklimat on line, 2008).
Ekosistem Danau
Tempe dikelilingi oleh deretan
pegunungan dengan elevasi dari 1500-3000 meter. Kurang lebih 37% lahan di ekosistem
Danau Tempe memiliki kelerengan lebih dari 45%. Sebagian besar area lahan (70%)
peka terhadap erosi tanah.
A.
Kualitas Air
Air Danau Tempe
dan sungai–sungai yang masuk dalam Ekosistem Danau Tempe telah mengalami
penurunan kualitas atau dengan kata lain telah tercemar. Bahan-bahan pencemar
yang kandungannya tinggi di badan air adalah suspended solids, nitrogen dan
bahan-bahan organik, yang diakibatkan oleh aktivitas masyarakat bantaran sungai
yang sistem sanitasi lingkungannya rendah. Mereka membuang sampah dan limbah
cair domestik ke perairan. Pada bulan
November 2002 BOD pada badan air danau 12 kali lebih tinggi dari baku mutu dan
DO nya mencapai tingkat yang berbahaya yaitu 0,3 ppm disamping kadar besi, seng, mangan dan
coliforms yang juga tinggi (Nippon Koi, 2003). Adapun zat-zat yang telah
melewati ambang batas untuk penggunaan perikanan adalah logam berat Pb (lead),
Zinc (Zn), Mg, dan zat besi. Akibat banyaknya nutrient yang masuk ke dalam
Danau Tempe, menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Eutrofikasi ditandai oleh banyaknya eceng
gondok yang tumbuh di perairan danau. Tanaman ini sebelum tahun 1950 tidak
pernah dijumpai di perairan danau.
Salah satu
indikasi tejadinya pencemaran pada Ekosistem Danau Tempe adalah tercemarnya
Sungai Cenranae oleh limbah rumah tangga. Kadar DO (Dissolved Oxygen) telah
melewati BM yang ditetapkan oleh PP 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Hal ini
didasarkan pada hasil uji sampel
air Sungai Cenranae yang dilakukan oleh Bapedalda Kabupaten Wajo pada lokasi Jembatan 45 Salo Menraleng
menunjukkan angka 24,7 mg/ltr dibandingkan dengan BM sebesar 20 mg/liter
(Harian Fajar, Jumat 30 Januari 2009)
Selain itu, data
dari Laporan Kajian Status Mutu Air menunjukkan status mutu air pada sungai
Walanae Cenranae pada umumnya telah tercemar mulai dari cemar ringan sampai
cemar sedang untuk semua kelas air. Namun demikian,
ada beberapa segmen yang memenuhi
BM untuk kelas tertentu seperti pada segmen D dan E seperti yang ditampilkan dalam
table 1.
Sementara itu,
parameter BOD5, DO, Cd, Fe terlarut dan total Fosfat sebagai P serta TSS tidak memenuhi baku mutu air untuk
segmen yang ditetapkan sebagai kelas I,
sedangkan pada segmen sungai yang masuk kategori kelas II parameter yang telah melewati baku mutu adalah
TSS, BOD5, COD, DO, Cd, Fe terlarut, zn, dan total fosfat sebagai P. Untuk
segmen yang masuk kelas III, parameter yang melebihi baku mutu adalah BOD5, Do,
Cd, dan H2S. Terdapat 10 parameter yang melampaui baku mutu yang dipersyaratkan,
yakni TSS, BOD5, COD, DO, PO4, NO2, H2S, Cd, Cu dan Mn. Tiga parameter organik
terpenting, yakni BOD5, COD dan DO pada seluruh titik pantau tidak memenuhi baku mutu, tingginya nilai BOD5 dan
COD menandakan bahwa bahan-bahan organik yang terkandung di dalam sungai, titik
pantau khususnya relatif tinggi, dalam artian pencemaran yang bersumber dari
bahan-bahan organik cukup tinggi. Hal ini dibuktikan pula dengan kelarutan
oksigen yang rendah dalam air tersebut.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa pemanfaatan lahan yang dominan dalam
ekosistem Danau Tempe dalam hal ini Sungai Walcen adalah sektor pertanian,
perkebunan dan perikanan.
Selain masalah
pencemaran air akibat dari aktivitas masyarakat sekitar sungai dan danau, masalah lingkungan lain yang cukup
serius di Ekosistem Danau Tempe terutama pada sungai yang menjadi outlet (S.
Cenranae) adalah
masalah intrusi air laut. Survey
intrusi air laut dilakukan pada tanggal 10 Maret 1997 pada ruas di bagian
tengah dan ruas dibawahnya seperti Uloe, Palima, Solo dan Cenrana. Hasil
konduktivitas elektrik menunjukan nil. Survey interview dilakukan pada tanggal
21 November 1997 (aliran air sangat rendah) dan ditemukan bahwa intrusi air
laut mencapai hingga ke Desa Tolowe lebih kurang 25 km ke arah darat dari Teluk
Bone. Arus balik yang dipengaruhi oleh pasang adalah hingga ke desa Pompanua
(Nippon Koei 1997). Berdasarkan hasil FGD disebutkan bahwa pada saat musim
kemarau, intrusi air laut mencapai 15 km kearah darat Sungai Cenrana. Pada saat
ini sungai pada ruas yang terpengaruh intrusi air laut tidak dapat digunakan
sebagai sumber air tawar bagi penduduk di sekitarnya. Kondisi ini terjadi di
Sungai Cenranae yang terletak di Kabupaten Bone, khususnya di Kecamatan Cenrana
(Nippon Koei 2003).
B.
Hidrologi
Selain masalah
kualitas air, masalah lingkungan lain yang dihadapi ekosistem Danau Tempe adalah adalah masalah kuantitas
air. Salah satu indikator adanya masalah pada sistem hidrologi di ekosistem
Danau Tempe adalah terjadinya banjir dan kekeringan. Banjir dan kekeringan
merupakan “saudara kembar” yang pemunculannya saling susul menyusul. Faktor
penyebab banjir sama persis dengan
faktor penyebab kekeringan. Kawasan eksositem Danau Tempe hampir setiap musim
hujan mengalami banjir. Area yang selalu
tergenang pada saat musim hujan adalah di sekitar Danau Tempe, daerah hilir
Sungai Bila dan Sungai Walanae, serta area di
sepanjang Sungai Cenranae. Banjir telah banyak menimbulkan kerugian bagi
masyarakat banyak. Lahan-lahan pertanian, perumahan penduduk dan infrastruktur
sering mengalami kerusakan akibat banjir.
Pada
musim hujan tinggi muka air Danau Tempe dapat mencapai elevasi 7.0- 9.0 meter
dan luas permukaan air mencapai 28.000-43.000 Ha. Sementara pada musim kemarau
luas permukaan air hanya mencapai 10.000 Ha dengan kedalaman mencapai 1.5
meter. Elevasi dasar danau adalah 3.00 meter pada titik terendah. Pada tahun yang sangat kering, luas permukaan
Danau Tempe bahkan hanya mencapai dibawah 1.000 Ha dengan kedalaman 0.5 meter.
Pada tahun 1993, 1994 dan 1997 pada saat musim kering yang sangat ekstrim berlangsung,
luas minimal permukaan danau hanya mencapai 200 Ha. Banjir terakhir terjadi di
Sengkang pada awal tahun 2007 dengan kerugian material diperkirakan 2,7 Milliar
Rupiah.
Upaya yang telah dilakukan untuk
menangani permasalahan lingkungan hidup di Ekosistem Danau Tempe sudah cukup
banyak tetapi tampaknya belum memberikan dampak yang signifikan. Adapun
upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain:
1. Studi-studi,
baik yang didanai dari luar (JICA) maupun pendanaannya dari dalam negeri baik
APBN maupun APBD.
Beberapa studi
yang selama ini sudah dilakukan adalah:
•
Prelimanary Study on the Water Resources
Development in the Central South Sulawesi, JICA Juni 1974;
•
Topographic Mapping on
Scale of 1:25.000, JICA September 1978;
•
Master Plan on the
Central South Sulawesi Water Resources Development, JICA Maret 1980;
•
Feasibility Study of
the Bila Irrigation Project, JICA 1989;
•
Integrating
Conservation With Land-use Development in Wetlands in South Sulawesi Giesen,
untuk pupuk organik W.M., M. Baltzer and R. Baruadi, 1991,Indonesia PHPA/AWB,
Bogor, Indonesia
•
Detail Design of the
Bila Irrigation Project, OECF, 1992
•
Integrated Study on
Tempe Lake Water Resources Management, Nippon Koei, Desember 1997;
•
Pengelolaan Kawasan
Sekitar Danau Tempe dalam Rangka Menunjang Pengembangan Kapet Pare-Pare;
•
Penyusunan Rencana Tata
Ruang Danau Tempe oleh Tiga Kabupaten (Wajo, Soppeng, Sidrap).
•
Master Plan Study on Integrated Development and Management of The
Walanae-Cenrane River Basin, Nippon Koei, Desember 2003.
2. MOU
5 Bupati yang ada dalam Ekosistem Danau Tempe dan Guberrnur Sulsel. Namun
demikian sepertinya ini belum berhasil di lapangan.
3. Untuk
mengatasi lahan kritis yang ada, berbagai pihak juga sudah berupaya untuk
menghijaukan lahan-lahan kritis yang ada di dalam Ekosistem Danau Tempe melalui
program GERHAN. Bahkan pada tahun 2005 ada usulan untuk mengembangkan tanaman
jarak di kawasan Eksosistem Danau Tempe. Penanaman jarak diharapkan bisa
mengatasi masalah erosi dan dapat memulihkan lahan kritis, dan di lain pihak
bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi terbaharukan (biodisel).
4.
Program pemberdayaan ekonomi rakyat melalui pemanfaatan eceng gondok untuk
pupuk organik untuk pemulihan kualitas Danau Tempe Kabupaten Wajo, Provinsi
Sulsel (2007).
5.
Kegiatan Kajian Mutu Air Sungai Cenranae dan Walannae dalam rangka penetapan Peraturan
Gubernur Sulawesi Selatan tentang Kelas Air Sungai.
6.
Kegiatan pemanfaatan sedimen dari Danau Tempe sebagai bahan dasar pembuatan
batu-bata di Kabupaten Soppeng.
7.
Pada tahun 2007 Kementerian Negara LH bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Wajo telah
melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan membentuk kader LH
masyarakat pedesaan (tradisional dan adat) Hulu Danau Tempe. Kegiatan ini
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap
lingkungan hidup khususnya daerah hulu danau. Selain itu, dibentuk juga Forum
Komunikasi Kader Pedesaan (tradisional dan adat) Peduli Hulu Danau Tempe. Forum ini diharapkan dapat menjadi
sarana komunikasi dan konsultasi kader LH dalam mengatasi masalah LH di
sekitarnya.
8.
Pada tahun 2008, Kementerian LH bekerjasama dengan Bapedalda Kabupaten Wajo dan
LSM Pemuda Nusantara Kabupaten Wajo melakukan beberapa kegiatan pemberdayaan
masyarakat di Danau Tempe. Kegiatan tersebut adalah aksi penanaman pohon pada
lahan kritis oleh masyarakat di Maniangpajo sebanyak 2000 pohon, pembuatan
kebun bibit berbasis swadaya masyarakat di Desa Anabanua Kecamatan Maniangpajo
dan pelatihan kader lingkungan hidup tentang pertanian ramah lingkungan. Pada kesempatan ini juga, para
kader LH masyarakat tradisional dan adat
di beri pengetahuan dan pelatihan tentang teknik pemanfaatan buah jarak pagar secara sederhana
untuk energi alternatif rumah tangga,
sumur resapan air secara sederhana, pengolahan sampah secara komunal guna memenuhi kebutuhan
masyarakat akan pupuk organik/kompos, serta budidaya padi organik dalam pot.
9.
Kegiatan perbaikan fisik sungai pada beberapa ruas Sungai Walanae dan Cenranae,
telah dilakukan beberapa kegiatan fisik berupa perbaikan pinggir sungai. Akan
tetapi yang ada hanya pada tebing sungai yang telah mengalami longsor dan hanya
pada ruas jalan yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat sekitar.
Demikian pula
metode penanggulangan longsor tebing sungai lebih banyak dilakukan dengan pembangunan tanggul dan
bronjong. Agus Maryono (2005) menyatakan
bahwa pembangunan bangunan sipil pada sungai baik berupa sudetan, pelurusan dan
pembuatan tanggul akan menghilangkan komponen retensi baik biotik maupun
abiotik sehingga menghilangkan retensi sungai. Hilangnya retensi sungai akan meningkatkan
debit aliran sungai, meningkatnya debit puncak sungai dan menurunnya waktu
mencapai debit puncak. Akibat selanjutnya adalah meningkatnya tendensi banjir
di daerah hilir sungai.
Metode vegetatif
belum disentuh sama sekali padahal dalam hal pelestarian fungsi ekologis sungai pembetonan atau
bangunan fisik lainnya tidak pro lingkungan dan membutuhkan biaya pembangunan
dan pemeliharaan yang
sangat besar.
BAB
III
PENUTUP
Pencemaran
ekosistem didaerah sekitar danau tempe tergolong rendah, namun jika tidak di
tanggulagi dari sekarang maka akan menimbulkan dampak yang begitu berbahaya
bagi ekosistem yang ada di sekitar danau tempe.
0 comments:
Post a Comment